Oleh Fatmawati Thamrin (pemerhati masalah sosial)
Opini, linimasa.co – Nyaris setengah juga pasangan suami istri (pasutri) di Indonesia cerai sepanjang 2019. Dari jumlah itu, mayoritas perceraian terjadi atas gugatan istri.
Berdasarkan Laporan Tahunan Mahkamah Agung (MA) 2019 perceraian tersebar di dua tempat. Pengadilan Agama untuk menceraikan pasangan muslim, sedangkan Pengadilan Negeri menceraikan pasangan nonmuslim.
Dari data Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia, hakim telah memutus perceraian sebanyak 16.947 pasangan. Adapun di Pengadilan Agama sebanyak 347.234 perceraian berawal dari gugatan istri. Sedangkan 121.042 perceraian di Pengadilan Agama dilakukan atas permohonan talak suami. Sehingga total di seluruh Indonesia sebanyak 485.223 pasangan. (Detiknews 28/2/2020)
Tren percerian di indonesia semakin meningkat setiap tahunnya. Data tahun 2018 angka perceraian 408.202 kasus, meningkat 9% dibandingkan tahun sebelumnya. (Katada.co.id 20/2/2020)
Bukannya menurun malah semkin bertambah yang memilih bercerai. Tentu ada yang mendasari akhirnya suami atau istri memutuskan untuk bercerai. Penyebab kasus perceraian di Indonesia beragam, namun secara rata-rata ada dua masalah besar yang jadi penyebabnya.
Penyebab terbesar perceraian pada 2018 adalah perselisihan dan pertengkaran terus menerus dengan 183.085 kasus. Faktor ekonomi menempati urutan kedua sebanyak 110.909 kasus. Sementara masalah lainnya adalah suami/istri pergi (17,55%), KDRT (2,15%), dan mabuk (0,85%).
Riskan memang Salah satu Alasan utama seorang pasangan bercerai adalah karena faktor ekonomi. Imbas dari banyak pengangguran dan PHK yang berakibat secara akumulatif terhadap faktor ekonomi keluarga, sehingga beban hidup menjadi tinggi. Suami pun Tidak mampu memenuhi biaya hidup keluarganya. Keharmonisan keluarga pun menjadi rapuh.
Dari banyaknya kasus perceraian itu, menyisakan banyak masalah. Seperti nasib anak pasca perceraian, persoalan hak asuh anak, apakah ikut ibu atau ayah. Selain itu juga masalah eksekusi putusan soal nafkah anak dan nafkah mantan istri yang harus diberikan oleh ayah/mantan suami. Sehingga perlu perhatian pemerintah. Juga tidak ada mekanisme yang mengikat pihak ketiga (instansi tempat permohonan bekerja) untuk memastikan eksekusi pembayaran nafkah oleh tergugat yang mangkir.
Pemerintah sudah memiliki seperangkat UU untuk mengatasi masalah ini seperti UU PKDRT, UU kwarganegaraan, UU perlindungan anak, UU kesejahteraan sosial dll. namun angka percerain tetap besar, malah naik. Di bulan februari 2020 ini muncul RUU ketehanan keluarga yang akan mencakup semua UU tersebuat. RUU ketahanan keluarga ini salah satunya untuk mengatasi masalah perceraian. Pendekatan anturan secara sistemis agar pertahanan keluarga terbentuk. Menurut pengusulnya RUU itu sangat penting dilanjutkan agar persoalan ketahanan keluarga bisa menjadi alternatif pemecahan masalah sosial yang dihadapi oleh keluarga.
Akar masalah perceraian
Penyelesaian dengan UU buatan manusia ini hanya akan menyelesaikan secara parsial saja. Karena sistem yang dianut adalah Sistem kapitalis sekuler (memisahkan agama dengan pengaturan kehidupan). Permasalahan perceraian rentan terulang, karena kita hidup dilingkungan yang tidak islami dimana tidak diterapkannya hukum hukum allah swt, yang mendegradasi peran ibu. hukum buatan manusia ini juga akan membrangus nilai-nilai dalam keluarga.
Rezim sekuler tidak mampu memberi solusi tuntas atas problem keretakan RT karena akar masalahnya sistemis dan penyelesaiannya parsial bahkan cenderung kontraproduktif atau memunculkan masalah baru dalam RT sekarang.
Intitusi islam adalah Solusinya
Masalah perceraian hannyalah masalah cabang dari sekian banyak masalah yang ada di negara ini. Maka harus diselesaikan masalah intinya, sehingga masalah cabang ini akan terselesaikan juga. Dengan kembali kepada syariatnya Allah dengan penerapan syariah secara Kaffah, dalam naungan institusi Islam.
Dalam institusi Islam negara akan menjaga ketakwaan rakyatnya. Dengan menguatkan keimana kaum muslim, memahamkan bahwa segala aktifitasnya di standartkan pada Ridho Allah.
Negara juga akan Meningkatkan pemahaman masyarakat terkait syariat islam, termsuk hukum hukum keluarga, bagaimana peran suami, bagaimana peran istri, tugas-tugasnya. Tugas dan kewajiba suami dan istri bukan karena kesepakatan. Allah menciptakkan pria dan wanita dengan karekteristiknya masing-masing, dengan peran dan fungsinya yang Allah tardirkan. Yang akan menghadirkan kebaikan dan keharmonisan. Suami mencari nafkah dan tugas istri ‘”l um warobatul bait” seorang ibu yang mendidik anak dan mengatur rumah tangga.
Negara juga akan menyediakan lapangan pekerjaan bahkan akan memberikan modal kerja bagi para suami. Sehingga tidak ada lagi yang mengalami kesulitan ekonomi.
Jika ada kasus tindak kekerasan maka ada lembaga peradilan yang mudah diakses dengan cepat, mudah dan gratis. agar diambil tindakan dengan mekanisme yang tegas. Lembaga peradilan tidak akan kompromi pada tindakan kekerasan pada perempuan, terhadap anak-anak, atau pun suami yang tidak mau menafkahi.
Sesungguhnya bencana moral, kekerasan seksual saat ini, karena penerapan hukum tidak berlandaskan syariat islam yang utuh. Ummat saat ini membutuhkan institusi Islam yang mampu menerapkannya Islam secara kaffah agar diperoleh keberkahan dan keharmonisan.
Wallahu a’lam.
Penulis Opini Fatmawati Thamrin (pemerhati masalah sosial)