Peraturan KPU (PKPU) Nomor 2 Tahun 2024 Tentang Tahapan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota Tahun 2024 yang disahkan oleh KPU RI, memastikan pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak akan dilaksanakan pada Rabu, 27 November 2024. Sesuai dengan tahapan dan jadwal pemilihan yang sudah ditetapkan pada tanggal 27 Agustus 2024 – 29 Agustus 2024 Para calon kepala daerah yang akan berkompetisi sudah mendaftarkan dirinya.
Jean-Jacques Rousseau dalam bukunya “The Social Contract” mengatakan pemilihan pemimpin pemerintahan secara langsung oleh rakyat merupakan bukti telah tercapainya kehidupan paling tinggi di suatu negara. Pilkada suatu momentum yang penting untuk rakyat Indonesia dalam menentukan pemimpin di daerahnya. Dengan adanya pemilihan secara langsung, rakyat memiliki kesempatan untuk berpartisipasi aktif dalam menentukan nasib mereka sendiri, menjadikan proses ini sebagai bukti kehidupan politik yang matang dan berdaulat.
Pilkada mencerminkan pentingnya partisipasi aktif dari seluruh warga negara dalam kehidupan demokrasi. Melalui pemilihan yang jujur dan adil, Pilkada berfungsi sebagai sarana untuk mengukur sejauh mana masyarakat mampu menggunakan hak pilihnya dengan bijak. Dalam konteks ini, penggunaan hak pilih masyarakat menjadi sangat penting karena pilihan tersebut akan menentukan masa depan daerah. Oleh karena itu, Pilkada bukan hanya sekadar kontestasi politik, tetapi sebuah perwujudan dari kesadaran politik yang tumbuh, di mana masyarakat memiliki kesempatan menyuarakan aspirasi dan harapannya untuk mendapatkan pemimpin yang ideal sesuai dengan kehendak bersama.
Namun, tingkat kerawanan Pilkada memang cenderung lebih tinggi dibandingkan Pilpres, karena melibatkan kontestasi yang lebih dekat dengan masyarakat di tingkat lokal. Sensitivitas kedaerahan sering kali menjadi faktor utama yang memicu potensi konflik, baik secara sosial maupun politik. Kandidat-kandidat dalam Pilkada biasanya memiliki ikatan yang lebih erat dengan masyarakat setempat, baik melalui hubungan personal, etnis, agama, maupun budaya. Hal ini bisa menjadi pemicu munculnya ketegangan jika rivalitas politik ditafsirkan sebagai ancaman terhadap identitas kedaerahan atau kelompok tertentu. Oleh karena itu, penyelenggara Pilkada harus lebih cermat dalam mengantisipasi potensi kerawanan dan mengambil langkah-langkah preventif untuk menjaga agar proses demokrasi berjalan damai.
Selain itu, faktor lain yang memperparah kerawanan Pilkada adalah munculnya kelompok-kelompok fanatik yang memberikan dukungan tak terbatas kepada kandidat yang mereka jagokan. Kelompok-kelompok ini sering kali tidak menerima kritik atau masukan yang berlawanan dengan pandangan mereka dan cenderung membenarkan semua tindakan kandidat yang mereka dukung, tanpa mempertimbangkan dampak sosial atau hukum yang mungkin timbul. Fanatisme politik semacam ini dapat memperburuk polarisasi di tengah masyarakat, memecah persatuan, dan meningkatkan risiko konflik. Oleh karena itu, penyelenggara dan pihak keamanan perlu bekerja sama untuk menjaga agar dinamika politik lokal tetap terkendali dan tidak berubah menjadi perseteruan yang merusak tatanan sosial.
Salah satu contoh Konflik pada pilkada pernah terjadi di Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Kalimantan Utara Tahun 2015. Setelah pemungutan suara berlangsung, 10 hari berselang terjadi aksi massa yang mendukung pasangan calon dengan mengenakan pakaian adat berkumpul di depan kantor Gubernur Kaltara. Massa menuntut digugurkannya kemenangan pasangan Irianto Lambrie-Udin Hianggio dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur Kalimantan Utara dengan menuding pasangan tersebut terlibat politik uang dalam pemungutan suara. Massa Aksi yang tidak puas kemudian bereaksi keras dengan membakar Aula kantor Gubernur dan dua mobil dinas yang terparkir. Kemudian
Dalam menghadapi tantangan ini, penting bagi semua pihak yang terlibat dalam Pilkada, baik kandidat, pendukung, penyelenggara, maupun pihak keamanan, untuk memastikan bahwa proses pemilihan berjalan secara damai dan adil. Sosialisasi mengenai pentingnya toleransi politik dan penghargaan terhadap perbedaan pendapat harus terus ditingkatkan untuk mengurangi potensi gesekan di tengah masyarakat. Selain itu, langkah-langkah pengamanan yang tepat, seperti pemetaan daerah rawan konflik dan peningkatan kesiapsiagaan aparat keamanan, harus menjadi prioritas untuk meminimalisir potensi kekerasan selama proses Pilkada berlangsung. Dengan demikian, Pilkada dapat menjadi momentum demokrasi yang tidak hanya memilih pemimpin terbaik, tetapi juga memperkuat ikatan sosial di tengah masyarakat.
Sesama anak bangsa kita perlu menangkal aksi provokasi yang menginginkan masyarakat terpecah belah karena urusan politik. Mengutip salah satu ayat dalam Al-quran yang menyejukkan “Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara, Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan bertakwalah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (QS Al Hujurat : 10). perbedaan masing-masing pihak adalah hal wajar, namun ketika pesta demokrasi sudah selesai, maka persudaraan adalah hal yang paling utama. Masyarakat yang cerdas adalah masyarakat yang tidak terpancing dengan isu-isu yang belum dipastikan kebenarannya. Mari kita hidup dalam keberagaman tetapi dapat hidup saling berdampingan menjaga persatuan, persaudaraan dan kerukunan.

Opini oleh : Iqbal Saputra Zana, S.Sos, M.A.P(Dosen CPNS Administrasi Publik FISIP Universitas Mulawarman, Peserta Latsar CPNS Pusdiklat KDOD LAN Samarinda)