Ditulis Oleh I Dedy Pratama
Mereka dirampas haknya tergusur dan lapar,
bunda relakan darah juang kami tuk membebaskan rakyat.
Hidup mahasiswa, hidup rakyat!!!
Pekik salah satu mahasiswa setelah menyanyikan sepenggal lirik darah juang. Kemudian diikuti dengan peserta massa aksi lainnya. Hidup mahasiswa, hidup rakyat Indonesia. Mereka kepalkan tangan sembari berjalan menuju DPRD Prov. Kaltim, dan terus menyanyikan lagu darah juang untuk memberikan semangat. Begitu kira-kira gambaran singkat saat aksi penolakan Rancangan Undang-Undang (RUU) KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang diikuti ribuan mahasiswa di depan Gedung DRRD Prov. Kaltim, Karang Paci. Aksi penolakan RUU yang telah berjalan dua hari ini adalah aksi dengan massa terbesar sepanjang yang saya ketahui dan pernah ikuti. Sebelumnya saya hanya mengira, mahasiswa yang akan ikut aksi dan organisasi mahasiswa yang terlibat pasti tak sampai 200 orang. Tetapi semua terbantah, di Samarinda, Kalimantan Timur terpantau 4000 mahasiswa yang tergabung dari seluruh perguruan tinggi turut ikut menyuarakan penolakan RUU. Apa yang menyebabkan kesadaran mahasiswa hari ini mulai meningkat tentang menyoroti kebijakan publik? Setidaknya daya kritis mahasiswa yang selama ini tertahan, kemudian terakumilasi sehingga eporia aksi semakin menarik untuk mereka ikuti. Adanya RUU KPK menurut peserta aksi bukan malah memperkuat kerja pemberantasan korupsi. Sebaliknya, adanya Undang-Undang KPK nantinya akan mengkerdilkan peran dari pemberantasan korupsi.
Korupsi telah menjadi gejala akut yang hampir menyerang semua negeri, termasuk Indonesia. Secara singkat korupsi merupakan tindakan seseorang dalam menyalahgunakan kepercayaan untuk mendapatkan keuntungan. Di Indonesia korupsi telah terjadi semenjak zaman kerajaan dahulu. Sejarawan alumnus Universitas Indonesia, Hendaru Tri Hanggoro, menyatakan, jejak korupsi di Tanah Air juga dapat dilihat pada zaman kerajaan-kerajaan di Nusantara. Saat itu, jumlah pajak desa yang harus dibayar sudah digelembungkan para pejabat lokal yang memungut pajak dari rakyat yang masih buta huruf. Atau jika seseorang ingin menjadi pemangku desa, dia harus bersiap untuk membayar upeti (setoran) terhadap raja. Pasca kemerdekaan pun korupsi terus berlanjut dari Orde Lama, Orde Baru, sampai Era Reformasi sehingga menempatkan Indonesia pada posisi ke-4 sebagai salah satu negara dengan indeks presepsi korupsinya (IPK) tertinggi tahun 2018 ditingkat ASEAN.
Berbagai upaya pemerintah telah dilakukan untuk menekan jumlah korupsi. Pada era Orde Lama pemerintah telah membuat peraturan pemberantasan korupsi yang diatur pemerintah dalam Peraturan Pemberantasan Korupsi No.Prt/PM-06/1957. Pada era Orde Baru pemerintah juga mengatur pemberantasan korupsi dalam Undang-Undang Nomor. 03 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Lanjut pada Era Roformasi pemberantasan korupsi mendapatkan perhatian yang khusus dengan berdirinya lembaga anti korupsi KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan pengadilan khusus Tipikor. Setidaknya semua pemimpin di Indonesia telah sadar betapa bahayanya penyakit laten korupsi tersebut. Penyakit yang tidak nampak namun berpotensi menyerang siapa saja, terlebih pada orang yang memiliki kekuasaan.
Negeri ini tidak hanya membutuhkan aspek pengawasan yang diwakili oleh KPK sebagai salah satu lembaga terbesar negara saja. Lebih penting dalam itu semua adalah bagaimana mencari formulasi dalam aspek pencegahanya. Kekuatan mahasiswa sebagai penegak dan pengingat keadilan tetap harus di depan. Agar segala kebijakan yang salah harus terkoreksi dengan tepat. Menyuarakan kegelisahan dan keresahan yang terjadi dalam mewakili rakyat. Karena sekali lagi kesadaran atas penolakan RUU ini tidak hanya dipandang negatif oleh mahasiswa saja. Baru kali ini Siswa STM (Sekolah Teknik Mesin) pun ikut serta dalam memberikan suaranya. Meski dalam keadaan di lapangan mahasiswa yang banyak memberikan orasi dan pelajar membantu saat terjadinya eksekusi atau chaos antar aparat dan pengunjuk rasa.
Situasi menjelang pelantikan Presiden RI menuju dua priode kali ini memang genting. Salah langkah Presiden dalam memberikan putusan akan menjadikan efek bola liar. Hari ini massa aksi hanya menyoroti beberapa pasal RUU yang dianggap tak pro dengan rakyat. Kedepan jika terjadi persoalan yang lebih tidak pro rakyat, bisa saja mereka kembali turun kejalan dengan jumlah massa yang banyak. Kesadaran akan kepentingan rakyat ini bukan tekanan dari pihak siapapun. Mereka terlibat karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Terkhusus dalam memberantas penyakit korupsi yang telah menggerogoti negeri. Harga yang harus dibayar mahal ketika penyampaian pendapat adalah terjadinya korban pada saat aksi dan terbunuhnya seorang akitvis Mahasiswa Muhammadiyah. Presiden harus segera turun tangan dalam hal ini. Seperti pesan yang pernah disampaikannya Presiden akan serius dengan pemberantasan korupsi dan rindu akan penyampaian aspirasi di muka umum (demo). Langkah awal yang harus diberikan adalah memberikan hukuman seberat mungkin dan efek jera pada pelaku koruptif. Selanjutnya terus mencari langkah preventif dalam memberikan tindak pencegahan. Karena tidak menutup kemungkinan kita semua yang hari ini turun kejalan dapat menjadi pelaku koruptor juga, pada ruang publik yang kecil. Hari ini kita masih dapat menjaga nilai idealisme, karena sebagian kita belum tersentuh dengan nikmat kekuasaan. Penekanan akhlah dan nilai agama tetap harus diperdalam pada ruang-ruang pembelajaran. Berkumpul dengan lingkaran mahasiswa atau Ormas yang masih merawat muruah idealisme menjadi salah satu langkah dari efek pencegahan tersebut. Meski harus dicari banyak formulasi lainnya, seperti tidak menjadikan budaya hedonisme dan tamak sebagai alat pemuas. Berangkat dari itu semua setidaknya pencegahan korupsi itu kembali pada kesadaran pribadi untuk tidak memperkaya dan menguntungkan pribadi bahkan kelompok.