Opini – Negara nampak tidak serius dalam menanggani wabah dan membantu rakyatnya sebagai korban wabah. Dillihat dari Kebijakan yang diambilnya irkonsistensi (berubah-ubah) dan tidak prioritas. Dari darurat sipil, himbauan social distancing, PSBB(Pembatasan Sosial Berskala Besar) dan terakhir kebijakan New Normal Life. Kebijakan terakhir ini adalah bukti negara telah menyerah dan gagal dalam menanggani kasus pandemi serta bukti nyata negara lebih memilih menyelamatkan keselamataan perekonomian ketimbang nyawa rakyat.
Melalui dalil new normal life, negara pun menerapkan semua aktivitas dikembalikan secara normal walaupun wabah tak ada menampakkan tuk berakhir dan masih terus ganas. Termasuk negara telah sepakat tetap menyelenggarakan pilkada serentak tahun 2020 yang semula sempat tertunda dan kembali untuk dilaksanakan insyaAllah bertepatan 9 Desember 2020.
Sebagaimana dikutip dalam timesindonesia.co.id disampaikan alasan utama negara tetap diadakan pilkada serentak ditahun 2020 ialah agar tidak banyak kekosongan jabatan. Disamping itu, pemerintah melalui Mendagri juga menyatakan bahwa opsi diundurnya pilkada tahun 2021 tak menjamin pandemi ini akan berakhir. Sehingga berdasarkan perppu no 2 tahun 2020 keputusan pemerintah adalah tetap diadakan pilkada serentak tahun 2020 di masa pandemi covid-19 dengan tetap menjaga protokol kesehatan.
Dipastikan, pilkada ini menelan dana yang lebih besar dari tahun sebelumnya. Dari KPU mengajukan tambahan Rp 4,7 triliun dikutip dalam kompas.com, Bawaslu mengajukan tambahan RP 478 miliar dan DKPP mengajukan tambahan Rp 39 miliar untuk anggaran persediaan hand sanitizer, termometer, disinfektan, masker untuk petugas dan alat pelindung diri disetiap tempat pemungutan suara. Dan juga pemerintah sepakat memberi dukungan dana pada tahap pertama dibulan juni sebesar Rp 1,024 triliun dikutip dalam m.kumparan.com.
Tentu ditengah kasus pandemi corona yang terus meroket, keputusan pemerintah ini mendapat kontra dari beberapa kalangan. Salah satunya Mardani Ali Sera anggota Komisi II DPR RI, dari awal keluarnya perppu no 2 tahun 2020 beliau telah mengusulkan penundaan pilkada serentak tahun 2020. Menurutnya, “ditahun berat ini karena pandemi seharusnya pemerintah fokus berjuang menanggagulangi wabah dan mengurangi dampaknya dilansir dari okezone.com. Demikian hal yang aneh, jika pemerintah tetap ngotot menyelenggarakan pilkada sedang mengancam keselamatan nyawa rakyat.
Begitupun bukanlah yang diharapkan rakyat. Sebab ditengah wabah ini rakyat menjerit dan membutuhkan pertolongan negara akibat dampak pandemi yang cukup panjang dan ekonomi begitu sulit dan kritis. Sungguh keputusan pilkada di masa pandemi sangat tidak etis dan kezholiman nyata penguasa pada rakyat. Bahkan pilkada adalah jalan melanggengkan sistem demokrasi kriminal.
Sudah menjadi rahasia umum jika pilkada tidak pernah bersih dari money politic. Alhasil pemimpin terpilih pun minim berkarakter jujur dan adil. Inilah wujud pemimpin dari sistem kriminal. Sebagaimana disampaikan Dr Rizal Ramli tokoh nasional “ partai politik umumnya mendapatkan dari upeti-upeti dari pilkada dan pemilihan presiden (pilpres). Disitulah dimulai uang politik. Itu adalah sekrup pemerasan yang menghasilkan demokrasi kriminal (INDONEWS.ID).
Semua itu adalah akibat sistem kapitalis demokrasi yang dterapkan dalam negeri ini. Karena sistem ini kekuasaan diraih berdasarkan suara terbanyak. Sebagai anggapan bisa mewakili aspirasi rakyat. Namun faktanya, rakyat yang dimaksudkan hanya beberapa pemilik modal.
Sebab untuk memdapatkan suara yang besar dalam sistem ini membutuhkan kampanye yang masif dan disokong dana yang besar pula. Usus punya usul, disinilah ditemukan praktek money politic karena hal yang tak mungkin, jika hanya dari kantong pribadi. Tetapi ada campur tangan dari partai dan pemilik modal. Maka tak heran, tujuan kebijakan pemimpin terpilih adalah memuluskan kepentingan para pebisnis kapital. Apalagi waktu jabatan yang tak lama hanya 5 tahun. Tentu mereka hanya fokus mengembalikan modal pemilu dan mempertahankan kekuasaannya. Terjadilah kekuasaan oligarki yang dimana negeri ini diatur hanya segelintir orang yang memiliki kepentingan pribadi dan mengabaikan urusan rakyat.
Semua ini adalah kenyataaan betapa zholimnya penguasa pada rakyat dikarenakan mereka mengemban sistem kufur dalam berkuasa di negeri ini. Akhirnya akibat sistem rusak ini menjadikan pemimpin gila kekuasaaan, banyak janji tapi tindakan nol, menjual kekayaan alam pada penjajah, hukum tumpul pada pejabat dan menafikan kemashalatan rakyat. Penguasaa melakukan segala cara untuk tetap berkuasa.
Mengakhiri kezholiman pemimpin tidak ada jalan kecuali menempuh jalan islam. Islam dengan segenap peraturannya yang sempurna, semua masalah akan terpecahkan khususnya penguasa zholim. Dengan sistem islam yakni khilafah, negara islam menempatkan kedaualatan ditangan syariah dan kekuasaan ditangan rakyat. Artinya syariat islam yang menjadi hukum yang ditegakkan dibawah kepemimpinan amirul mukminin.
Islam telah menetapkan seperangkat metode baku dalam pemilihan khalifah ialah baiat. Adapun pemilu langsung merupakan salah satu teknis pemilihan khalifah sebelum melakukan pembaiatan. Selanjutnya teknis kedua pemilihan ini adalah perwakilan. Yakni rakyat memilih wakilnya lalu melalui majelis ummah (wakil umat) memilih penguasa. Inilah mekanisme pemilihan pemimpin dalam islam yang tidak memakan dana besar dan efektif dalam menghasilkan output yang bermutu.
Demikian karena atas dasar islam telah mendudukan kepemimpinan sebagai amanah yang akan dipertanggungjawabkan didunia dan akhirat. keyakinan khalifah terhadap amanah berat yang dipikulnya sehingga timbul takut pada Allah tak beranii memimpin sesuka hati. Juga karena islam telah menetapkan kekosongan kekuasaan maksimal 3 hari.
Dalilnya adalah ijma sahabat pada pembaitan Abu Bakar as siddiq. Sehingga waktu 3 hari akan membatasi kampanye, maka tak perlu melakukan kampanye besar yang menguras biaya besar. Ketiga islam menetapkan batas jabatan pemimpin itu tidak terbatas atau bisa seumur hidup kecuali memenuhi syarat pemberhentian khalifah yang ditentukan syariah atau meninggal. Adapun pemilhan wali (gubernur) untuk suatu wilayah(provinsi) serta menjadi amir untuk wilayah tertentu langsung ditunjuk khalifah dan pemberhentian langsung oleh khalifah juga.
Demikian sistem khilafah sehingga dana baitul mal bener-bener dimanfaatkan secara optimal untuk kemashalatan umat khususnya saat terjadi pandemi, khilafah fokus menanggani dampak wabah dan memutus penyebaran wabah serta menjamin kebutuhan rakyat ditengah pandemi. Wallahu’alam bishwab (*)
![](https://www.linimasa.co/wp-content/uploads/2020/07/4ba70d4b-6d06-4ae7-b460-e0234ca5c211.jpg)
Opini oleh Nur Haya S.S (pemerhati masalah sosial – Sangatta Kutai Timur)
MasyaAllah semoga ilmunya berkah