Kukar, linimasa.co – Tidak ada yang menyangka limbah kepiting yang tidak bernilai ekonomis justru dapat disulap menjadi barang kerajinan yang memiliki nilai jual tinggi.
Ialah Suwarno (42) warga desa Anggana, kecamatan Anggana, Kutai Kartanegara yang berhasil menjadikan limbah kepiting sebagai barang kerajinan dan laku dipasaran.
“Awalnya saya melihat di daerah saya ini banyak limbah kepiting yang dibuang. Kepiting yang dibuang itu adalah kepiting mati yang tidak mungkin lagi dipasarkan,” kata Suwarno.
Apalagi limbah kepiting yang dibuang kebanyakan memiliki kualitas ekspor, sehingga memiliki ukuran yang besar.
Ia pun berinisiatif untuk memanfaatkan limbah kepiting tersebut. Pada awal tahun 2020 Ia mulai mengolah limbah kepiting dengan modal dan alat seadanya.
“Saya kumpulkan kepiting-kepiting yang mati itu lalu membuang semua isinya. Dulu saya menyemprotkan formalin, tapi karena sekarang sudah susah membeli, saya manfaatkan alam,” katanya
Memanfaatkan alam yang ia maksud ialah memanfaatkan semut untuk mengosongkan isi kepiting. Tapi rupanya cara itu tidak semudah yang dibayangkan. Ia harus mencari sarang semut rangrang yang biasa berada di pepohonan.
“Kepiting yang mau kita olah itu ditaruh di sarang semut, nanti semut-semut itu yang memakan habis bagian dalam kepiting,” ungkapnya.
Semut akan memakan bagian dalam kepiting sampai habis dan menyisakan cangkang, termasuk di bagian capitnya. Dengan cara alami tersebut Suwarno tak lagi membutuhkan bahan kimia.
Ia mengatakan, untuk satu kepiting, dibutuhkan waktu paling cepat hingga empat hari agar bagian dalam habis dimakan semut.
“Hanya saja saya harus rajin berkeliling mencari sarang semut,” katanya.
Setelah bersih dan hanya menyisakan cangkang, kepiting lalu dipoles dengan pernis agar tampak menarik. Ia hanya menggunakan pernis dengan tujuan agar ciri khas dan warna asli kepiting tidak berubah.
Sementara itu untuk aksesoris tambahan, biasanya ia memanfaatkan limbah batok kelapa, dan untuk menunjukan ciri khas Kukar, kadang Suwarno menggunakan akar pohon.
“Semuanya kita rangkai seunik mungkin agar bisa menjadi kerajinan unik dan laku di pasaran,” ujarnya.
Harga jual kerajinan limbah kepiting pun beragam, dimulai dari Rp 200 ribu hingga Rp 500 ribu. Ia mengatakan harga sangat tergantung pada tingkat kerumitan, ukuran kepiting, dan nilai estetikanya.
Walaupun usaha kerajinan limbah kepiting baru dimulai awal tahun 2020, ia sudah kebanjiran orderan. Bahkan ia mengatakan gaji yang didapat dari perusahaan tempatnya bekerja setiap bulan selalu utuh.
“Usaha ini sangat menghidupi, bahkan saya bisa beli tanah,” katanya sambil tersenyum.
Pemesannya tidak hanya dari wilayah Kalimantan Timur, tapi juga datang dari Tarakan, Kalimantan Utara. Padahal, ia mengaku hanya menggunakan media sosial sebagai sarana promosi.
Juara Dua Lomba Desain Sovenir
Kepala Bidang Pengelolaan Komunikasi Publik, Dinas Komunikasi dan Informasi Kabupaten Kutai Kartanegara, Ahmad Rianto, mengatakan kerajinan tangan buatan Suwarno berhasil meraih juara 2 lomba desain souvenir yang dilaksanakan Dinas Pariwisata Kabupaten Kutai Kartanegara.
Pihaknya pun mengapresiasi upaya Suwarno dalam mengembangkan potensi kerajinan tangan.
“Kita sangat mengapresiasi dan mendukung langkah beliau, rencananya kami juga akan bantu promosinya,” kata Rianto.
Promosi yang dimaksud, sambung Rianto, ialah dengan melibatkan Kelompok Informasi Masyarakat (KIM) bentukan Dinas Komunikasi dan Informasi Kabupaten Kutai Kartanegara di setiap kecamatan.
Kelompok penggiat informasi ini akan membantu membuat konten menarik yang kemudian dijadikan alat promosi untuk memasarkan produk buatan para pelaku usaha kecil
“Konten bisa berupa foto, infografis, hingga video yang memudahkan pelaku usaha kecil mempromosikan usahanya. Dan ini tidak hanya untuk Pak Suwarno saja, kita fasilitasi untuk usaha yang lain agar warga tergerak berusaha dan tidak perlu khawatir soal promosi,” ungkapnya.
Rianto berharap kepada pelaku usaha kecil seperti Suwarno dapat melibatkan masyarakat lainnya
“Apalagi saat pandemi seperti ini , diharapkan warga lebih kreatif sehinggan ada nilai ekonomisnya,” tuturnya
Pewarta Herman