Oleh: Djumriah Lina Johan
(Praktisi Pendidikan dan Pemerhati Sosial Ekonomi Islam)
Opini, linimasa.co – Praktik Illegal logging di hutan Kaltim dan Kaltara ditengarai masih marak. Bahkan setelah menjadi kayu olahan, pelakunya melakukan berbagai cara agar bisa menjual, meski tanpa memegang dokumen yang sah dan lengkap. Kapolda Kaltim Irjen Muktiono menyebut akan melakukan penindakan berdasarkan pertimbangan pada fungsi dan kegunaan kayu tersebut. “Kayu itu digunakan masyarakat, bukan untuk dijual kembali. Apalagi sampai ekspor,” ujarnya.
Namun kata dia, berbeda kasusnya jika kayu yang diambil secara illegal dilakukan dalam jumlah banyak, kemudian diekspor dengan memalsukan dokumen dan modus lainnya, maka petugasnya tidak mengenal kompromi. “Tindak tegas,” jawabnya.
Kasus teranyar terkait praktik kayu illegal terjadi pada November 2019 lalu. Ketika Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup Kehutanan (Gakkum KLHK) menyita lebih dari 1.300 meter kubik kayu ulin illegal di lima gudang penumpukan kayu di Samarinda dan Kutai Kartanegara, serta satu gudang di Kutai Barat. (kaltim.prokal.co, Kamis, 2/1/2020)
Maraknya illegal loging yang terjadi di Kaltim bukan tanpa sebab. Sebagaimana diketahui setiap tahun selalu ada penangkapan pelaku illegal loging. Usut punya usut kayu illegal yang paling sering berjenis ulin. Dengan kualitas dan nilai jual yang tinggi tentu illegal loging akan sulit diberantas hingga ke akarnya.
Padahal upaya yang telah dilakukan Pemerintah daerah cukup diacungi jempol. Sebab, Pemerintah telah menetapkan UU No 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan serta aparat keamanan yang senantiasa terus mengawasi hutan di Kaltim. Namun pertanyaannya, ketika sudah ada aturan, sanksi, serta aparat yang mengawasi, mengapa illegal loging justru masih marak bukan malah berkurang atau bahkan hilang?
Nyatanya, aturan yang berlaku tidak mampu memberikan efek jera bahkan jika didalami UU yang mengatur perihal tersebut kurang tegas dan kurang berat. Belum lagi jika ada oknum-oknum yang siap dibayar berapapun demi memuluskan praktek perbuatan kriminal tersebut. Walhasil, wajar bila harapan zero illegal loging di Kaltim menjadi sesuatu yang mustahil.
Tak bisa dipungkiri, pelaku illegal loging bukanlah masyarakat biasa melainkan karyawan sebuah perusahaan. Di mana aktivitas tersebut merupakan pekerjaannya dan ia pun mendapat gaji serta peralatan penunjang dari tempat ia bekerja. Maka jelas, otak di balik maraknya illegal loging ialah korporasi.
Inilah dampak penerapan sistem kapitalis sekuler. Korporasi yang berulah, rakyat kecil yang harus menanggung getahnya. Belum ditambah efek bahaya yang ditimbulkan bagi lingkungan. Hanya banjir yang dibagi kepada masyarakat bukan keuntungan materi. Sehingga haruskah kita sebagai warga Kaltim terus diam tanpa menyuarakan penolakan?
Islam mampu memberikan jawaban pemberantasan illegal loging. Pertama, konsep dasar bahwa hutan merupakan bagian dari kepemilikan umum. Sebagaimana sabda Rasulullah saw, ”Kaum muslimin berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput/hutan, air dan api” (HR. Abu Dawud)
Kedua, negara adalah pihak paling bertanggungjawab menjaga kelestarian fungsi hutan. Rasul saw menegaskan dalam sabda beliau, ”Imam adalah ibarat penggembala dan hanya dialah yang bertanggungjawab terhadap gembalaannya (rakyatnya)” (HR. Muslim)
Sehingga, negara haram hukumnya menjadi regulator yang memberikan hak konsesi lahan bagi kepentingan korporasi industri meubel maupun kayu olahan. Sebaliknya, negara wajib bertanggungjawab langsung dan sepenuhnya dalam pengelolaan hutan. Termasuk pemulihan fungsi hutan yang sudah rusak serta antisipasi pemadaman bila terbakar.
Ketiga, negara akan memberikan sanksi yang dapat memberikan efek jera bagi siapapun yang merusak dan mengeksploitasi hutan tanpa seizin penguasa.
Dengan demikian, hanya mencabut sistem kapitalisme sekuler kemudian menggantinya dengan penerapan Islam secara menyeluruh di setiap lini kehidupan bernegara yang mampu mewujudkan zero illegal loging. Wallahu a’lam bish shawab.