Opini, linimasa.co – Berdasarkan informasi yang beredar di media massa maupun media sosial, bahwa di tengah kondisi pandemic covid-19 pemerintah akan memberlakukan gagasan “new normal” sebagai babak baru dalam menyikapi wabah covid19. Tentu alasan paling utama adalah bagaimana roda ekonomi bisa berjalan, agar kehidupan sosial dapat berjalan dengan harapan efek negative dari PSBB yang diberlakukan di sebagian besar wilayah Indonesia bisa diminimalisir.
Namun gagasan ini tidak semua elemen masyarakat bisa memaklumi, sebagai contoh PP Muhammadiyah melalui pernyataan pers nomor 002/PER/I.0/I/2020 yang menjadikan kondisi pandemic masih belum bisa diatasi. Pernyataan ini tentu bukan tanpa dasar, salah satu alasan psikologis bagi Muhammadiyah adalah keterlibatannya secara langsung dalam menangani covid-19 berikut dampak sosialnya melalui Muhamamdiyah Covid-19 Comand Center (MCCC) yang dibentuk lebih awal dari gugus tugas pemerintah, dan terkoordinasi secara terstruktur dan masif di seluruh Indonesia sehingga mudah mengkalkulasi aksi dan konsekuensinya.
Namun tentu keputusan tetap ada pada pemerintah. Gagasan new normal yang tentu lebih fokus pada penyelamatan ekonomi ini memang bukanlah kembali pada kehidupan normal seperti sebelum covid-19. Dengan gagasan baru ini yang masih dalam kondisi darurat new normal adalah kehidupan babak baru yang masih terikat dengan protocol covid-19. Bila demikian maka perlu ada kebijakan sektoral yang menjadi prioritas jika saran dari PP Muhammadiyah tidak dapat dilaksanakan.
Aspek penyelamatan manusia harus menjadi prioritas yang tak boleh dinomorduakan sebagaimana kaidah fiqh ” dar’ul mafasid ula min jalbil masholih” bahwa menghilangkan mafasadat atau mudarat itu lebih utama dari mengambil manfaat. Sebagaimana kita sadari bahwa manusia adalah aspek utama dalam manajemen apapun, termasuk dalam berbangsa dan bernegara dalam ukhuwah wathaniyah. Dalam proses perjalanan bangsa, pendidikan adalah factor yang tidak bisa diabaikan dalam mengisi pembangunan jangka panjang, bahkan pendidikan ini harus mendapatkan perhatian serius terkait dengan kualitas sumber daya manusia di masa mendatang.
Banyak alasan yang memperkuat bahwa pendidikan tak boleh abai, dari sisi belanja negara pun UU Sisdiknas no 20 tahun 2003 memberikan porsi 20% APBN dan APBD agar pendidikan berkualitas dan terjangkau bisa dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat, sehingga tidak ada alasan bagi masyarakat untuk tidak ikut serta dalam program mencerdaskan kehidupan bangsa ini. Lantas apa korelasi dari narasi di atas terkait pendidikan ? Peserta didik adalah adalah anak-anak bangsa yang di bawah umur hingga remaja yang berjenjang dari TK hingga perguruan tinggi, di masa mendatang mereka lah yang akan menjalankan peran di multi sektor dan multi profesi dalam kehidupan berbangsa ini, kualitas sumber daya manusia akan menentukan kadar produktifitasnya di masa mendatang, bukan hanya kecerdasan yang menjadi modal bagi perjalanan peran mereka masing-masing, akan tetapi kesehatan dan imunitas jiwa juga menjadi point penting dan berpengaruh bagi produktifitasnya.
Dengan alasan ini, perlu pertimbangan yang matang kapan aktifitas belajar harus dimulai dengan bertemu di sekolah atau kampus.Kita harus memikirkan keselamatan generasi penerus di masa mendatang dan juga keselamatan guru atau dosen sebagai aset penting dalam mengasah kualitas sumber daya manusia di masa mendatang. Terjaminnya kesehatan dan keselamatan para siswa maupun mahasiswa saat ini adalah jaminan kesehatan bangsa di masa mendatang, pun demikian kesehatan dan keselamatan para guru dan dosen pun adalah jaminan ketenangan dan kegembiraan para peserta didik dan juga orang tua.
Diharapkan kegiatan belajar dan mengajar dengan pertemuan tatap muka dapat ditunda hingga benar-benar keadaan covid19 benar-benar terkendali. Katakanlah: “Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing”. Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya. (QS 17:84).
Berangkat dari dasar qalam Ilahi ini, tentu ada pijakan kuat bahwa berbuat sesuai keadaan adalah sunatullah yang harus kita jalankan.Bila nanti kebijakan sekolah dengan tatap muka dan ngampus ini benar-benar kita laksanakan menunggu covid-19 ini bisa dikendalikan, harapannya tentu semua bisa menerima dan turut saling mendukung. Kita menyadari bahwa belajar dari rumah bukanlah piliah terbaik, karena tidak semua orang tua bisa menjadi mentor bagi anaknya, tidak semua pelajar tingkat atas dan mahasiswa memiliki daya baca yang baik serta daya serap yang cukup jika hanya sekedar mendapatkan arahan secara online, namun inilah keadaan kita yang harus mengedapankan keselamatan manusia. Bila orang-orang yang harus mencari nafkah diperbolehkan keluar, tentu ada alasan darurat yang lebih besar dari bahaya covid-19 yang dapat dicerna oleh mereka yang paham akan artinya ikhtiar, para pelajar dan mahasiswa harus mampu mengerti agar tidak turut meramaikan jalan dan tempat umum dengan aktif belajar di sekolah atau kampus.
Kita harus belajar dari Perancis dan Korea Selatan yang kembali menutup sekolah setelah pelonggaran social distancing karena meningkatnya kembali kasus positif covid-19, tentu kita tidak menginginkan itu terjadi pada anak-anak kita. Para guru juga diharapkan memiliki obyektiftas yang bisa disesuaikan dengan kondisi, dengan belajar online sesuai dengan kebutuhan komptensi siswa yang harus dicapai agar lebih mengedepankan proses dari pada hasil, sehingga tingkat kekoopertifan siswa lebih menjadi indicator penilaian. Demikian juga para orang tua khususnya yang akan mendampingi anak-anak mereka, ketika ada kesulitan komunikasilah dengan guru dari putera-puterinya dan juga manajemen sekolah, sehingga tidak ada kicauan yang tidak nyaman yang menuding kompetensi guru “rendah” hanya dengan indicator aduan orang tua siswa yang tidak bisa menjadi guru, karena tugas guru itu berat oleh sebab itu menjadi tugas yang mulia.
Penulis Opini : YAKUB FADILLAH, S.IP
Wakil Ketua Bidang Pendidikan dan Kader
PW Pemuda Muhammadiyah Kaltim