Samarinda, linimasa.co – Panitia mulai membeber satu per satu nama pembicara yang bakal hadir dalam TedxUnmul. Nama Andreas Harsono dipastikan ambil bagian dalam events yang rencana dihelat 18 April 2020 mendatang di Gedung Hexagon Fakultas Teknik Universitas Mulawarman Itu. Selain Andreas, masih ada 12 pembicalainnya yang akan diundang, dan akan diumumkan ke publik secara berkala saban pekan.
Lepas pre-event perdana yang dihelat beberapa waktu lalu, Kurator TEDxUnmul, Ermioni Vlachidou mengungkapkan, pihaknya sengaja “Menyimpan” nama pembicara, dan hanya menyebutkan satu hingga dua nama saja tiap pekan. Musababnya, agar publik penasaran dan pihaknya dapat memberi kejutan hingga menjelang hari H pelaksanaan TedxUnmul pada 18 April 2020 mendatang.
“Kami akan mengumumkan nama pembicara tiap pekan. Sengaja kami simpan (Nama pembicara) agar lebih surprised saja,” terang Ermioni yang kala itu didampingi Co-Curator, Dushyant.
Ermioni menuturkan bila pihaknya berupaya menghadirkan pembicara terbaik untuk TedxUnmul. Bukan saja pembicara kelas Internasional, dan nasional, pembicara lokal asli Kaltim pun diberi ruang untuk membagikan ide-ide brilian dan kisah inspiratif mereka.
Kembali pada pembicara pertama, yakni Andreas Harsono. Sekadar Informasi, nama Andreas Harsono dikenal publik sebagai penulis, jurnalis, dan aktivis sangat konsern terhadap isu hak asasi manusia (HAM).
Lebih jauh, Andreas Harsono tercatat pernah bekerja sebagai jurnalis untuk Jakarta Post. Ia pun dikenal sebagai salah satu pelopor penulisan jurnalisme sastrawi yang didapatkannya saat mendapatkan beasiswa Nieman Fellowship on Journalism di Harvard University pada tahun 1999 yang lalu. Jurnalisme sastrawi ialah sebuah model penulisan reportase yang mengedepankan fakta tetapi ditulis bergaya sastra.
Beberapa buku karya Andreas Harsono yang masih bisa dinikmati publik hingga kini ialah Agama Saya Adalah Jurnalisme; Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan Mendalam dan Memikat (Dengan Budi Setiyono) dan buku Race, Islam and Power: Ethnic and Religious Violence in Post-Suharto Indonesia. (*)