Bontang, linimasa.co – Malam berselimut gelap, tampak remang cahaya lampu dari teras kantor salah satu teman sejawat kami. Kamis malam (25/6/20), selepas magrib kami berkumpul sembari menanti teman lain yang masih dalam perjalanan dari Kota Samarinda menuju Bontang. Sesekali kuseruput gelas cangkir berisi minuman pekat berwarna hitam, Kopi hitam dan kue kering sisa sore tadi. Tidak begitu lama akhirnya tiga orang yang dinanti pun tiba. Cuaca malam itu tidak begitu bersahabat, langit seakan meneteskan air matanya perlahan menanti keberangkatan kami. Hujan rintik sedari sore tak menyurutkan keinginan kami melihat bagian surga yang hilang.
Pukul 20 tepat waktu bagian tengah, kami pun berkumpul, memeriksa perlengkapan dan kendaraan, kemudian berdo’a dalam kesunyian. Kami pun berangkat menggunakan kendaraan roda dua. Berjalan beriringan, menerobos keheningan sang penguasa malam. Jumlah kami 12 orang. Perjalanan dari Bontang ke Kutai Timur memakan waktu sekira 2 jam. Semasa diperjalanan, kami berkendara saling memberi isyarat. Kendaraan terdepan memberikan sinyal jika ada lubang dengan melambaikan tangan kiri ataupun kanan, sehingga rekan yang berada di belakang bisa terhindar dari jalan yang rusak.
Meski hujan yang jatuh tertatih, tak menyurutkan semangat saya untuk tetap waspada menatap jalan raya protokol yang ternyata tak semulus perkiraan. Pukul 22.20 Wita, saya beserta rekan-rekan yang menamakan diri Tim Ekspedisi Jurnalis Bontang tiba di Kota Sangatta, yang kata orang jika di siang hari akan terlihat lebih banyak debu. Tapi beruntunglah saya tiba malam.
Tiba di kota ini, beberapa rekan langsung ke Basecamp Komunitas Pecinta Alam dan Budaya, Sangatta Backpacker. Sementara saya dan rekan lainnya bertemu dengan WakaPolres Kutai Timur, Kompol Mawan Riswandi di warung bebek goreng. Beruntung perut yang ternyata berontak karena dingin dan lapar, akhirnya terisi oleh bebek goreng yang baru saja diangkat dari penggorengan.
Tak sadar perbincangan asyik menghayutkan kami hingga larut malam, kami pun pamit dan melanjutkan perjalanan ke Basecamp Sangatta Backpacker menyusul rekan lainnya.
“Silahkan teman – teman untuk istirahat dan mengumpulkan energinya mengingat besok kita melakukan perjalanan panjang,” ujar Fachri ketua rombongan ekspedisi Jurnalistik ini. Kami pun mengambil posisi untuk melepaskan lelah dan mencoba memejamkan mata.
Tak terasa, mentari begitu cepat menyapa. Kami pun bersiap. Tepat pukul 09.00 Wita, Jum’at (26/7) kami pun melanjutkan perjalanan, namun dengan tambahan 3 orang personil anggota pecinta alam. Namun sebelum menuju tujuan, kami mampir ke Mako Polres Kutim, hanya butuh waktu 15 menit dari basecamp. Kedatangan kami untuk meminta izin dan meminta arahan agar perjalanan kami menuju Desa Batu Lepoq, Kecamatan Karangan berjalan aman.
Dengan difasilitasi dua jenis mobil Double Gardan, kami berangkat menuju rumah Tetua Adat Desa Karangan, yaitu Izam. Sembari meminta izin dan meminta arahan beliau, lelaki paruh baya itu pun menjelaskan sedikit gambaran bagaimana keadaan di puncak gunung karst tersebut.
“Letak dari puncak kars itu di gunung Mengkuris masuk dalam bentang Pegunungan Karst Sangkulirang-Mangkalihat yang menyimpan misteri peradaban puluhan ribu tahun lamanya,” terangnya.
Usai mendapatkan arahan dari tetua adat, Izam, kami pun melanjutkan perjalanan, namun saat kami bersiap melangkah, beliau masih menitip satu pesan lagi agar ketika melakukan perjalanan hendaknya ada warga lokal yang menemani. Tersebutlah nama “Pak Minggu” sebagai pemandu jalan sekaligus sang “juru kunci” Gua Telapak Tangan dan Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Desa Batu Lepoq, Kecamatan Karangan.
“Oh, bagus aja sudah kalau kalian didampingi sama Minggu karena memang dia juru kunci jaga gua dan puncak itu. Pesan saya hati-hati di sana dan saling jaga diri,” pesan Pak Izam.
Rasa tak sabar menyelimuti hati, ingin segera sampai dan melihat surga yang hilang tersebut. Sepanjang perjalanan terlihat barisan hijau berjejer rapi meski tampak berdebu namun pepohonan sawit itu terlihat seolah segar kembali lantaran hujan membasahi. Perjalanan begitu panjang namun tak terasa melelahkan hingga akhirnya jarum jam pun menunjukkan pukul 21.00 waktu setempat. Penguasa malam pun menunjukkan kegelapannya. Kami tiba di destinasi wisata Kutai Timur yang pertama yaitu kolam pemandian air panas, yang menjadi titik pertemuan pertama kami bersama sang juru kunci yaitu Minggu. Nampak dirinya beserta dua rekan yang menemaninya sedari tadi sambil menunggu kedatangan kami.
Melihat kami yang sudah lelah, Minggu, langsung menawarkan kami untuk berendam di pemandian air hangat yang konon katanya sumber air panasnya berasal dari mulut gua yang merupakan peninggalan nenek moyang.
Permandian air panas
“Air ini juga bisa langsung dikonsumsi. Dari umur saya 12 tahun sampai sekarang 52 tahun, deras aliran airnya tidak berubah. Pada saat kemarau panjang selama enam bulan di tahun 1982 airnya juga tidak kering,” terangnya pada kami.
Biaya Rp 5 ribu perorang yang dikenakan setimpal dengan rasa nyaman air hangat yang memanjakan tubuh. Dari hasil biaya itu yang nantinya akan dikelola sebagai dana perawatan dan upah bagi anggota Pokdarwis yang mengelola permandian.
“Perorang akan kita kenakan biaya Rp 5 ribu sebagai biaya perawatan dan gaji teman-teman karena tidak ada honor dari pemerintah,” ucapnya.
Puas kiranya melepas penat di pemandian air panas, kini kami bergeser menuju pos, dimana tempat para pendaki berkumpul sebelum menuju puncak kars. Satu jam lamanya perjalanan meski disambut dengan akses jalan yang terjal, kini akhirnya kami sampai di pos yang terbuat dari kayu, terletak di kaki gunung Mengkuris sekaligus homebase Dinas Pariwisata Kutai Timur. Lalu Berbincang sejenak sebelum merenggangkan otot – otot badan, dan disepakati pukul 04.00 dini hari pendakian dimulai.
“Untuk teman – teman silahkan beristirahat jika ingin ngobrol santai juga silahkan asal besok pagi tidak telat dalam pendakian,” lagi – lagi Fachri mengingatkan.
Mata hendak terpejam namun rasa ingin tahu lebih besar saat pak Minggu bercerita tentang asal muasal puncak Gunung Mengkuris.
Alkisah dimulai dari sosok wanita bernama Siti Fatimah yang diutus Kerajaan Kutai untuk mensyiarkan agama Islam kepada Suku Dayak Basap yang saat itu masih menganut animisme. Siti tidak sendiri, suaminya, Ibnu Ali Al-Mengkurisi merupakan salah satu petinggi Desa Batu Lepoq yang membantu tugas mulia Siti.
“Nama Ibnu Al-Mengkurisi ini yang akhirnya menjadi cikal bakal penyebutan Bukit Mengkuris atau Gunung Mengkuris ini,” kata Minggu.
Waktu pun bergulir. Sesaat terasa lekat kedua kelopak mata seolah tak ingin bangun dari mimpi indah. Namun teringat ada surga dunia menanti dengan gulungan kabut tebal yang didampingi awan putih, saya pun bangkit dari sisa bayang mimpi indahku. Sabtu (27/6) tepat pukul 04.00 pagi hari, kami pun berkumpul. Perjalanan ke puncak gunung memakan waktu 1 sampai 2 jam jika keadaan gelap.
Anganku pun melayang, membayangkan keindahan gunung dan lembah yang diselimuti awan putih bersinar diterpa sinar emas berkilauan sang penguasa pagi. Rasanya tak sabar ingin segera sampai ke puncak.
“Biasanya kalo normal bisa sampai 1 jam atau lebih cepat, tapi bisa juga 2 jam kalo lambat.” Kata Minggu yang telah berdiri di depan pos, memakai rompi kulit kayu khas suku Dayak Basap beserta topinya.
Dirinya berpesan untuk menghindari perkataan kotor, jaga sikap, adab dan etika saat naik ke puncak “luruskan niatnya,” ujarnya
Sebelum mulai, kami yang berjumlah 15 orang, berdiri melingkar dan mulai berdoa. Fachri memimpin doa agar sang penguasa jagat memudahkan ekspedisi kami.
Sekira 35 menit kemudian, Tim bergerak dan terhenti di mulut hutan yang akan kami lewati menuju puncak, terlihat Minggu mengucapkan doa – doa bak sebuah mantra memohon izin kepada sang leluhur dengan gaya logat khas Dayak Basapnya itu.
Usai melalui ritual yang membuat bulu kudukku sedikit merinding, Minggu kembali memimpin pendakian, berjalan di depan dan kami beriringan di belakangnya. Kepala ini hanya sanggup menunduk, dan sesekali melirik ke depan. Penguasa malam seperti enggan beranjak meninggalkan kami, berjalan di kegelapan hanya dengan mengandalkan cahaya yang bersumber dari senter kecil. Permukaan gunung yang dipijak terasa runcing dan licin. Khas batuan karst. Sering pula jalur menyempit dan terjal. Sesekali ada beberapa rombongan yang terpleset namun tidak sampai terjatuh. Pepohonan hutan tropis dengan dedaunan yang lebat, jalan menyempit, medan terjal serta bersebelahan dengan jurang yang dalam. Suasana sempat mencekam ditambah terbatasnya mata memandang, kabut dingin seakan menikam ke dadaku. Sesekali ada rekan yang bercanda berusaha mencairkan suasana namun selalu diingatkan oleh Minggu untuk tetap konsentrasi.
Sungguh tantangan yang luar biasa bagiku. Langkah kami sempat terhenti karena beberapa rekan meminta waktu untuk istrahat karena kehabisan nafas. “Hati – hati disini bebatuan nya agak sedikit licin, tolong rekannya di belakang dibantu naik, puncak gunung sudah dekat,” lagi – lagi Minggu mengingatkan.
Semangat ku kembali memuncak, bak gawai telah terisi daya penuh kembali. Perjalan ke puncak rupanya tak begitu lama. Sekira pukul 05.30 kami pun berhasil menundukkan bebatuan karst mencapai puncak Gunung Mengkuris.
Kondisi puncak Gunung Karst Mengkuris cukup lapang bisa menampung kami, Minggu pun kembali mengingatkan agar kami tidak duduk terlalu pinggir, mengingat jurang yang begitu dalam hanya berjarak beberapa jengkal saja.
Saya pun mengambil posisi menghadap ke timur, demikian pula rekan lainnya. Sambil mengukir kisah perjalanan saat mendaki, mataku pun tak henti melihat sekeliling takut tertinggal oleh pesona alam sedetik pun.
Waktu bergulir, semua mata memandang kearah timur, menanti suar bak cahaya dari balik tubuh bidadari bersinar keemasan di selah selimut putih yang menggumpal. Bentang pohon hutan tropis seakan bergandengan tangan, menari mengelilingi bebatuan gunung Karst. Awan dan kabut pun terlihat tak mau kalah, mereka bergulung dan menyatu tanpa memberi celah bagi siapapun untuk melewatinya. Mentari pun tak mampu menerobos barisan ketat sang kabut yang angkuh.
“Meski matahari pagi tak sanggup menyapaku kali ini, keindahan alam yang ada ini pun sudah cukup membuatku puas. Terbayarkan pendakian ini” Gumamku dalam benak
“Wow.. Keren banget!! Biar gak dapat sunrise tapi, ini pemandangan yang keren dan eksotik. Terbayarkanlah untuk perjuangan dalam pendakian tadi,” timpal Maemunah, salah satu rombongan ekspedisi jurnalistik ini.
Lama kami terkesima, hingga waktu terus berdetak, kini gulungan awan putih yang dibalut dengan tebalnya embun kini perlahan memudar. Dan sesuatu yang membuat mataku terbelalak disaat kabut menipis, nampak sebuah bentangan gua menganga membelah tebing bebatuan Karst. Dan pikirku, semua rekan pendaki mengalami hal serupa. Terpesona.
Bentangan gua di sela tebing
“Belum ada sama sekali orang yang berhasil memasukinya, kami telah berusaha mencari jalan menuju goa itu namun belum berhasil hingga sekarang,” Terang Minggu.
Tak mau membuang momen begitu saja, saya bergegas mengambil gawai dan segera mengabadikan momen bersejarah ini dalam hidupku. Meski belum puas memanjakan mata dengan keelokan puncak Gunung Karst Mengkuris, Minggu mengajak kami untuk mengunjungi Gua Telapak Tangan yang letaknya tak jauh di bawah puncak.
Sekira 30 menit kami sampai di mulut gua, kurang lebih memiliki lebar 4-5 meter. Terlihat jelas dari luar gua, terdapat batu tunggal yang berdiri menyatu antara dasar dan langit-langit gua. Warnanya hijau dengan kepekatan berbeda dari batuan lainnya. Minggu merinci, batu itu akan berubah warna secara alami menjadi seperti warna butiran pasir saat siang.
Tak sabar dan penuh rasa ingin tau, kami pun memasuki gua tersebut. Sesuai namanya terdapat gambar cap telapak tangan terlihat di sisi kiri dinding. Belum jauh ke dalam, cap telapak tangan lainnya juga terdapat pada sisi kanan dinding gua. Sekira satu meter jarak dari dinding, pembatas dipasang agar orang tak tidak menyentuh gambar. Tinggi langit-langit mungkin lebih 20 meter.
Gua Telapak Tangan memiliki ruang-ruang yang terpisah. Untuk mencapai ruang atau lantai yang lebih tinggi, harus memanjat dinding gua dengan berpengangan pada rotan sebagai alat bantu. Di sini, ada relief gambar menyerupai manusia, babi hutan maupun katak atau binatang melata.
“Di sini ada gambar telapak tangan, kodok, babi, dan goresan gambar lainnya,” tambah Minggu.
Minggu dan yang lain selalu menjaga kelestarian Gua Telapak Tangan. Hampir setiap hari ia meninjau gua. Jika ada yang ingin memasuki situs pra-sejarah tersebut, hendaknya mendapat restu darinya. Jika pengunjung belum mendapatkan izin, dipastikan tidak diperbolehkan memasuki gua.
Sekira tahun 1934, Gua Telapak Tangan sudah menjadi perkampungan bagi leluhur. Ayahnya, meminta Minggu untuk menjaga peninggalan leluhur yang ada di dalam gua. Dibuat pula sejumlah larangan yang tidak boleh dilanggar oleh pengunjung.
“Gua tersebut dulunya merupakan perkampungan dari nenek moyang saya. Seperti Datuk Wangsa, Datuk Ukahan, Datuk Galungan yang turun-temurun ke nenek (kakek) dan ayah saya. Untuk di dalam gua tidak boleh menyentuh situs yang ada di dinding gua. Cukup dilihat dan difoto saja,” jelas Minggu.
Sejuknya pepohonan dari hutan tropis seakan menambah keindahan dari sisi goa Telapak Tangan.
Waktu berlalu, tak terasa terik mentari mulai menyeruak masuk dari selah dinding tebing nan tinggi.
“Lelahnya gak seberapa dengan bayaran yang Tuhan tunjukan melalui keindahan alam semesta beserta isinya yang cukup memanjakan mata, dengan tiada hentinya mengucap syukur Alhamdulillah,” ucap salah seorang rombongan yang meniru bak gaya puitis sang Fiersa Besari.
Sepanjang jalan dari puncak Gunung Karst Mengkuris hingga tiba di pos, kami pun saling bercerita tiada henti tentang keelokan puncak gunung yang tak dapat kami lukiskan. Kini rekan – rekan ekspedisi jurnalis beristirahat seraya menyiapkan energi untuk melanjutkan perjalanan.
Terkuak sudah surga yang hilang tersembunyi di puncak Gunung Karst Mengkuris, dipagari rimbunnya pepohonan hutan tropis Desa Batu Lepoq, Kutai Timur.
Reporter Lutfi Rahmatunnisa