Tenggarong – Dengan diulur atau dilarungnya 2 ekor Naga serta tradisi yang disebut Belimbur, maka Ritual penutupan Erau Adat Pelas Benua akan berakhir.
Dua replika Naga yang terdiri dari tiga bagian yaitu kepala terbuat dari kayu diukir mirip dengan aslinya dan dihiasi sisik-sisik warna warni, diatas kepala terpasang ketopong mahkota. Sedangkan pada leher terdapat kalung berhiaskan kain berumbai.
Bagian leher yang berkalung disambungkan ke bagian badan yang terbuat dari rotan dan bambu serta dibungkus dengan kain kuning.
Pada kain kuning itu disusun sisik-sisik warna warni mirip sisik ular besar, bagian badannya terdapat lekuk lekuk sebanyak 5 lekuk seakan ekor naga yang siap berjalan ke arah tujuannya. Sedangkan pada ekor terbuat dari kayu yang menyerupai ekor Naga.
Selama 7 hari 7 malam 2 ekor Naga itu telah disemayamkan dibagian kanan dan kiri serambi Keraton, untuk naga laki berada di kanan sedangkan naga bini di kiri. Kemudian naga itu digotong dan ke bawa ke arah sungai mahakam secara beramai-ramai oleh petugas dari kesultanan kutai kartanegara ing martadipura untuk diulur atau dilarung.
Proses ini tidak dilakukan di Kota Tenggarong, namun di Kutai Lama tepatnya di Kecamatan Anggana, Kutai Kartanegara di mana asal mula Kerajaan Kutai berdiri pertama kalinya.

Usai Naga di bawa menggunakan kapal, terdapat sejumlah prosesi yang dilakukan oleh Sultan Adji Muhammad Arifin di Keraton selama 2 ekor naga menuju ke Kutai Lama.
Dari keraton menuju tepian sungai Mahakam dan didampingi oleh para kerabat, Sultan Adji Muhammad Arifin langsung duduk di atas balai menghadap ke sungai dengan di apit 7 orang pangkon laki dan bini.
Dengan dipercikannya air tuli oleh Sultan Adji Muhammad Arifin kepada para tamu dan kerabat, maka masyarakat baik ditempat acara maupun di sepanjang jalan melakukan siram-siraman air atau yang disebut Belimbur.
Tak jarang, sejumlah masyarakat saling menyiramkan air di area Keraton Kutai Kartanegara dan itu sudah menjadi tradisi berakhirnya Erau Adat Pelas Benua.
Masyarakat yang datang dari berbagai daerah pun memadati area Keraton Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura baik itu dari Samarinda, Balikpapan maupun Tenggarong sendiri untuk melakukan siram-siraman atau belimbur.
“Hari ini kita melaksanakan prosesi puncak acara adat Erau yaitu mengulur Naga yang mempunyai makna artinya mengembalikan Naga sebagai kendaraan Putri Karang Melenu waktu muncul dari pusaran air dan hari ini kita kembalikan lagi ke pusat air serta dirangkai dengan prosesi Belimbur yang artinya mensucikan diri,” terang Kerabat Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura, Raden Dedy Hartono.
Belimbur merupakan tradisi saling menyiram air kepada sesama anggota masyarakat yang merupakan bagian dari ritual penutupan Erau sebagai wujud rasa syukur atas kelancaran pelaksanaan Erau Adat Pelas Benua.
Selain itu juga belimbur memiliki maksud filosofi sebagai sarana pembersihan diri dari sifat buruk dan unsur kejahatan. Air menjadi sumber kehidupan dipercaya sebagai media untuk melunturkan sifat buruk manusia.
Pada masa sekarang tradisi itu berkembang menjadi festival penuh sukacita. Selain memiliki nilai filosofi, ajang ini juga sebagai sarana menjalin keakraban antar masyarakat dalam suasana yang jauh dari tata krama formal.
Seiring perkembangan zaman masyarakat kini tidak sekedar menyiram secara harfiah, beberapa diantaranya ada yang sampai menggunakan media seperti pompa pemadam kebakaran. Bagi remaja festival ini hanya terjadi satu tahun sekali. (fai)