Samarinda- Ketua umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir mengungkapkan kegeramannya terhadap pihak yang menuding Muhammadiyah dibeli oleh pemerintah Cina terkait masalah komunitas muslim Uighur.
Padahal Muhammadiyah hingga saat ini terus menyoroti masalah-masalah tindak diskriminasi diberbagai negara termasuk yang ada di Uighur.
Bahkan untuk permasalahan Muslim Uighur, Haedar mengatakan Muhammadiyah tidak hanya berhenti pada penyampaian kritik dan kecaman tapi juga telah berupaya mengambil peran sebagai mediator.
“Untuk persoalan Muslim Uighur kami coba terbuka pada duta besar Republik Rakyat Tiongkok agar mereka membuka akses masyarakat dunia bisa datang ke Xinjiang,” kata Haedar, seperti dikutip dari laman tempo.co
Haedar juga mengungkapkan ada sejumlah protokol yang menyulitkan pihak luar untuk dapat berkunjung ke kawasan Muslim Uighur di Xinjiang Uygur Autonomous Region (XUAR). Apalagi yang menyangkut persoalan relasi hubungan dan tata kebijakan internasional yang berlaku di Cina.
“Kalau ormas kan perannya tetap terbatas. Makanya kami geram sekali ada pihak yang menuding, karena kami diundang mengunjungi Uighur lalu kami seolah dibeli,” ujar Haedar
Saat diwawancarai pasca meresmikan gedung Ir. Juanda di kompleks Universitas Muhammadiyah Kalimantan Timur Haedar mengatakan untuk kasus diskriminasi, Muhammadiyah meminta negara harus bersikap tegas dan adil.
“Kami meminta Indonesia bersikap tegas ketika ada kasus diskriminasi. Indonesia harus berpijak pada pembukaan UUD 1945. Terutama soal prinsip menegakkan perdamaian dan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan dan keadilan sosial”, ujar Haedar. (*)